Rabu, 25 April 2007

privatisasi

privatisasi pendidikan dimulai dari ditetapkannya beberapa Universitas/perguruan tinggi negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). sekilas, BHMN bertujuan untuk otonomi kampus. dan PT yang sudah BHMN diberi kebebasan untuk mencari dana sendiri. jadi sumber dananya tidak hanya dari pemerintah tapi juga dari masyarakat. dan akibatnya muncullah berbagai pungutan. mulai dari SPMA di UGM, SBPT di ITB dan DPKP di UI. nah, kalau di UNP diberi nama POM (persatuan orang tua mahasiswa). menurut pemerintah (pembelaan) universitas BHMN juga diberi kebebasan dalam pengelolaan internal dan dalam penentuan arah kebijakan universitas. tapi pada kenyataannya pemerintah tetap mencampuri internal universitas. sebagi contoh dalam pemilihan rektor. pemerintah dalam hal ini menteri pendidikan mendapatkan porsi 35 % suara dalam pemilihan rektor. kasus nyata yang telah terjadi adalah pada pemilihan rektor UGM tahun 2002. dimana Syofyan effendi berada pada urutan ketiga dalam pemilihan yang dilakukan senat universitas. tapi karena menteri pendidikan memberikan suaranya (12 suara) pada sofyan effendi akhirnya dia terpilih menjadi rektor UGM periode 2002-2006.
sekaranng muncullah apa yang disebut dengan BHP (Badan Hukum Pendidikan). dimana semua satuan pendidikan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi berbentu badan Hukum Pendidikan dengang prinsip nirlaba dan dapat mengelolah dana secara mandiri. sumber dana tidak lagi berasal dari pemerintah tapi dari masyarakat yg didalamnya termasuk pengusaha. kalau kita kembali pada HAM. bahwa dimana pendidikan adalah hak dasar semua warga negara dan negara berkewajiban untuk memenuhinya dan mendanainya secara penuh (bukan di berikan atau berbagi dengan masyarakat) maka dengan ditetapkannya BHP berarti negara telah melepas tanggung jawabnya dan ini berarti juga negara telah melanggar konstitusi. nah, kalau begitu warga negara tidak perlu lagi memenuhi kewajibannya (bayar pajak, misalnya). akar dari RUU BHP adalah UU no 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. khususnya pasal 53 yg isinya:
(1). penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan.
(2). Badan Hukum Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 brfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan Hukum Pedidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berprinsip nirlaba dan dapat mengelolah dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan
(4) ketentuan tentang Badan Hukum Pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.
namun yang memprihatinkan bagi saya adalah, dikalangan mahasiswa masih belum muncul pemahaman yang memadai tentang dampak privatisasi itu sendiri. akibatnya privatisasi PTN itu tidak menjadi common platform bagi gerakan mahasiswa tapi hanya menjadi 'isu minor' sekelompok mahasiswa saja.
solusi alternatif yang saya tawarkan adalah:
1. selain menolak RUU BHP kita juga harus meminta pengkajian ulang terhadap UU no 20 thn 2003 tentang sistem pendidikan nasional. karena itulah yang menjadi akar dari lahirnya UU BHP
2. berikan pemahaman dan penyadaran pada mahasiswa akan dampak privatisasi melalui diskusi rutin, seminar, pamplet, spanduk, radio dan surat kabar kampus. initnya lakukan konfrontyasi yang berkelanjutan.
3. upayakan pemilihan rektor langsung dengan melibatkan mahsiswa sebagai stakeholder terbanyak dalam sebuah universitas. agar posisi mahasiswa tidak hanya sekedar penerima kebijakan tapi juga ikut andil dalm pengambilan kebijakan kampus termasuk bentuk status universitas
mungkin itu saja sekilas pendapat solusi yang bisa saya tawarkan dalam menghadapi privatisasi perguruan tinggi. tanggapan atau komentar rekan2 sangat saya harapkan terutama solusi2 yang mingkin lewbih baik dan langsung mengena pada akar permasalahan. terakhir, pendidikan gratis MUTLAK adanya!!!

Rabu, 18 April 2007

dalam atau luar??

kata civitas akademika sudah sering kita dengar. civitas akademika adalh para stakeholder sebuah universitas yang terdiri dari dosen, karyawan dan mahasiswa sebagai stakehoder terbanyak. terbanyak tapi tidak mempunyai posisi tawar yang sesuai dengan banyaknya. malah yang berkembang dalam pemikiran para pejabat kampus saat ini adalh bahwa mahasiswa merupakan konsumen sebuah universitas. artinya mereka berada diluar. bukan didalam. diluar berarti m,enerima apa yang ditawarkan oleh universitas tanpa berhak untuk mempertanyakan apalagi menunutut hak.
yang lebih membuat sedih adalah pikiran seperti itu juga merasuki mahasiswa itu sendiri. sehingga memunculkan sikap apatis. kalau ini dibiarkan terus menerus maka keinginan untuk mewujudkan pendidikan murah akan seperi punnguk yang rindu akan langit. jauh panggang dari api. untuk menghindari itu, lelbaga mahasiswa perlu mengatur strategi. memberikan tawaran2 alternatif kepada pohak birorat kampus. bahkan bila perlu menuntut kejelasan posisi mahasiswa. dan semua itu akan terwujud kalau organisasi mahasiswa bisa bersatu dan mau sedikit menahan ego keorganisasiaan masing-masing. komunikasi yang baik adalah kata kuncinya!!

kegemukan!!!


orang yang kegemukan, geraknya akan lamban. begitu juga organisasi. oraganisasi dengan struktur yang rumit akan berdampak pada rendahnya kinerja organisasi tersebut. dari dulu, organisasi mahasiswa di sudah seperti arisan ibu-ibu. terlalu banyak sumberdaya. hal ini mengakibatkan sulitnya komunikasi dan koordinasi antar anggota organisasi. rata-rata jumlah pengurus organisasi mahasiswa ekitar 35-45 orang. dan ini sangat boros dan lamban dalam pengambilan keputusan karena harus menunggu kesepakatan bersama. minimal setengah jumlah kuota.
menurut saya ini harus segera diubah. harus ada perampingan dan itu diatur dalam juknis ormawa. artinya dijadikan sebagai ketentuan baku. menrut hemat saya, organisasi mahasiswa seperti HIMA, BEMF BEM Universitas, itu cukup memiliki maksimal 10 orang pengurus. tapi yang benar-benar paham akan organisasi mahasiswa serta tentu saja memiliki visi yang sama. dengan begitu komunikasi antar penguruspun akan semakin mudah. dan akan berdampat pada cepatnya dalam mengambil keputusan. kalau soal pengangkatan sebuah kegiatan, panitia bisa dibentuk dengan cara open recruitment. jadi pengurus tidak perlu ikut dalam kepanitian. cukup sebagai perancang kegiatan tersebut saja.

sendal jepit, riwayatmu kini!

saya saring diprotes, kenapa selalu pake sendal kedalam kampus. tentu saja saya punya alasan pada setiap perbuatan dan keputusan yg saya ambil. ini tidak bermaksud membela diri. tapi saya hanya mencoba membuka ruang untuk kita semua untuk berpikir lebih bebas dan kritis. larangan ke kampus pake sendal bagi saya merupakan suatu bentuk penindasan. penindasan terhadap kebebasan mahasiswa dalam mengekspresikan diri. kuliah, bagi saya adalah bentuk pencarian makna hidup dan jati diri. proses pembentukan manusia agar lebih manusiawi dalam berfikir dan bertingkah laku. alasan yang selalu mengikuti pelarangan menggunakan sendal jepit di kampus adalah untuk kedisiplinan dan menunjukkan kesopanan. pembelaan terhadap moral. pertanyaan nya adalah, apakah dengan menggunakan sendal jepit lantas seseorang bisa dianggap tidak bermora, tidak disiplin, atau tidak berbudaya?
beberapa alasan yang membuat saya selalu menggunakan sendal kekampus antara lain adalah:
1. dalam proses belajar mengajar, siswa atau mahasiswa akan dengan mudah menyerap ilmu atau pelajaran yang disampaikan dosen apabila dia merasa nyaman. dan saya merasa nyaman menggunakan sendal. sebab saya tidak terbiasa menggunakan sepatu, saya selalu merasa gerah pake sepatu. dan jika saya menggunakan sepatu, konsentrasi saya akan tertuju pada bagaimana caranya agar secepat mungkin sepatu itu saya buka. bukan pada pelajaran yang disampaikan dosen.
2. pendidikan mahasiswa adalah pendidikan endragogis. pendidikan orang dewasa. dimana terbuka ruang untuk perbedaan dan pencarian jati diri serta penafsiran bebas atas pendidikan yang diterima. bukan pedagogis. jadi kampus, tidak bisa mendoktrinkan atau mengatur hingga keruang pribadi mahasiswa.
3. tidak ada relevansi antara sendal atau sepatu dengan prestasi akademik. (kalau ada yang berminat meneliti hal ini silahkan. saya tunggu hasilnya!)
saya harap kita tidak menjadi masyarakat yang selalu mengagungkan simbol-simbol. kalau kita orang merdeka, maka dengan kemerdekaan itulah kita membiarkan orang lain untuk merdeka!