Senin, 26 Februari 2007

Cangkir dan Kopi

Tadi sore ada kisah menarik yang saya baca dari sebuah buku. ada seorang profesor yg kedatangan beberapa orang mantan mahasiswanya. mereka datang dengan penampilan ala metrosexual. mobil mewah, jas bermerk, jam tangan berlapis emas dsb. sang profesor cukup bangga melihat kesuksesan mereka. sambil membiarkan tamunya berbincang2, si profesor menyiapkan kopi untuk mereka. kopi itu dimasukkan kedalam berbagai cangkir yg berbeda. mulai dari berlapis emas, kristal, cangkir antik dari cina, hingga cangkir jelek yg terbuat dari bahan plastik biasa. dan saat dihidangkan, tidak ada satu orangpun yg mengambil cangkir plastik. para tamu tsb tidak tau kalau sang profesor sedang mengamati perilaku mereka. setelah berbicara tentang kesuksesan masing2. pada akhirnya semua tamu tsb mengaku tidak merasa bahagia. sebagai seorang guru, si profesorpun memberi mereka sedikit wejangan, dan berkata:
"now concider this; life is the coffee, and the jobs, money and position in society are the cups. they are just tools to hold and contain life. and do not change the quality of life. sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided. so, don't let the cups drive you, enjoy the coffee instead."

sungguh sebuah kata2 yg memiliki makna yg sangat dalam. ada beberapa ciri orang yang telah bekerja dalam memaknai hidup. Pertama, orang yang sibuk mengejar pekerjaan atau jabatan. orang yang seperti ini berpandangan bahwa semakin banyak cangkir, maka hidup akan semakin bercahaya. fokus hidupnya hanya untuk menambah kepemilikan. sukses diukur dengan seberapa banyak dan bagus apa yang dimiliki. tetangganya beli mobil mewah, maka dia juga akan berusaha untuk memperoleh mobil yg sama, tak jarang lebih bagus.
kedua, mereka yang hidupnya hampa. penuh dengan demdam, dengki dan iri hati. tak ada damai dan kebahagiaan. orang yang seperti ini sering melakukan mal kebaikan untuk menutupi ketidakbahagiaannya. saat merasa ditinggalkan, dia lalu melakukan amal berbuka bersama anak yatim contohnya. menutupi kehampaan dengan cangkir yang lebih mahal.
ketiga, mereka yang konsentrasi membenahi kopinya agar lebih enak, semakin enak dan menjadi sangat enak. mereka tidak pernah dipusingkan dengan penampilan cangkir. fokus pada kehidupan dan hidup yg bermakna.
terkadang memang kita tidak sadar, lebih menghawatirkan cangkir, padahal kita harus fokus pada kopi. so, enjoy your coffee, my friend!!!

Minggu, 25 Februari 2007

cerpen_ku

Hanya Diam

Tangannya mengunci pintu rumah. sebuah tas besar menempel di bahu kiri dan tas kecil menempel di bahu kanan. Di bibirnya terselip sebatang rokok yang belum menyala. kakinya melangkah menyusuri jalan kompleks kampus dimana dia tinggal dan kuliah. dia menoleh kebelakang, menatap dalam-dalam bangunan kokoh kampus itu, seperti hendak melepas semua kenangan. kenangan akan kebersamaan dengan teman-teman sesama aktivis, terutama kenangannya akan Dinda. Dinda adalah cinta, jiwa dan nafas baginya. dan Dinda jugalah yang menjadi alasan kepergiannya.

Selimut raksasa hitam masih setia menaungi angkasa. Rintik hujan mulai jatuh bagai jutaan jarum emas yang menghujam bumi. orang-orang mencari tempat untuk berteduh. tapi dia teris berjalan. Diciumnya aroma hujan yang memberi semangat untuk memenuhi panggilan sang kekasih. "ada hal penting yang hendak Dinda bicarakan." Sepotong kalimat dalam percakapan melalui telepon itu, mendorongnya untuk lebih mempercepat langkah.
"sebaiknya kita jangan terlalu sering bertemu." Dinda mulai membuka percakapan.
"saat ini Dinda ingin lebih konsentrasi kuliah."
"dan Dinda juga ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga"
"kebersamaan kita yang terlalu sering, telah merampas itu semua." Dinda bicara terus tanpa menoleh sedikitpun padanya. dan dia hanya diam.

Dia melambaikan tangan ketika melihat bus bandara melintas. hiruk-pikuk pengunjung bandara menyapa hangat telinganya. para tukang angkut berlari kearah bus yang dia tumpangi. mereka berebut menawarkan jasa pada para penumpang. dia melangkah menuju loket, dibelinya tiket untuk keberangkatan pukul satu siang. dia melirik arloji di tangan kanannya, baru jam sebelas. waktu yang cukup lama untuk menunggu keberangkatan. dihampirinya tempat duduk yang ada di lobby bandara. di sebelahnya duduk sepasang kekasih yang saling berangkulan. seperti hendak berpisah untuk waktu yang cukup lama. ditangan sang gadis, terselip setangkai bunga matahari.

"abang suka bunga apa?" Dinda tiba-tiba bertanya.
"pasti mawar. cowok kan biasanya suka bunga mawar!"
"kalau Dinda sukanya bunga matahari"
"soalnya bunga matahari itu perlambang kesetiaan. komitmen pada tujuan. walau dimalam hari ada cahaya rembulan yang begitu indah, dia tidak pernah berpaling. dia selalu setia menunggu pagi untuk dapat bertemu kekasihnya. matahari."
"Dinda ingin seperti bunga itu."
"setia menunggu datangnya seseorang. seseorang yang kepadanyalah cinta dan hidup akan Dinda serahkan." Dinda menjelaskan. dan Dia hanya diam.

Suara operator bandara yang terdengar melalui pengeras suara, mengagetkannya. waktunya chek in, Dia berjalan melewati petugas, diletakkanya barang bawaan di atas alat detektor x-ray. setelah semuanya selesai, dia berjalan menuju lantai dua, tempat dimana ruang tunggu penumpang berada. sebentar lagi berangkat.

"Dinda sudah bicarakan dengan keluarga tentang hubungan kita."
"mereka tidak setuju dan tidak akan pernah setuju."
"soal alasannya, biarlah menjadi rahasia Dinda."
"yang jelas Dinda tidak punya kuasa atas diri dan masa depan Dinda, semuanya ada di tangan keluarga. dan Dinda hanya bisa patuh."
"Dinda harap abang bisa mengerti." suara Dinda terdengar berat. Dia menatap dalam-dalam pada Dinda, ada kesedihan dalam garis-garis wajah kekasihnya itu. dan dia hanya diam.

Dia berdiri dari tempat duduknya. ditariknya nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. seperti hendak mengusir jauh kenangan dan rindu yang memadat.

"lupakanlah Dinda."
"Dinda tidak mungkin lagi mempertahankan hubungan ini."
"masalahnya tidak lagi sebatas cita-cita dan keluarga Dinda. tapi, ini masalah perasaan."
"Dinda tidak punya perasaan apa-apa lagi, Dinda tidak mencintai abang lagi." Dinda menelan ludah, suaranya serak. matanya berkaca-kaca. dan Dia hanya diam.

Dia melangkah menuju pintu pesawat. Dia akan pergi. tapi tidak pernah benar-benar pergi. sebagian dari dirinya akan tetap tinggal. menemani sejarah. sejarahnya dengan Dinda.




Sabtu, 24 Februari 2007

sekolah, capek deh........!!

kemarin sore, tante saya cerita tentang anaknya, Agi. Dia minta jadwal privat matematikanya di kurangin. dari tiga kali seminggu, jadi dua kali. bosan, katanya. gimana nggak, pagi sekolah, sore ngaji, malam privat, belum lg ngerjain PR dari sekolah yg seabrek-abrek. dan kalau buku pelajarannya di timbang pasti bakal lebih berat di banding berat badannya sendiri. usianya masih 10 thn. dengan usia segitu, dimana bermain adalah kehidupannya, harus terpaksa untuk melakukan hal-hal yg menurut pikiran orang dewasa, adalah demi masa depannya kelak. masa depan yang seperti apa ga" jelas. yang pasti baginya, waktu bermain jadi berkurang.
Lain Agi, lain lagi Nana, adik saya yang satu ini paling tidak suka matematika. sekarang dia kelas 3 smu (smu atau sma?! saya lupa, soalnya tiap ganti menteri, ganti nama). suatu kali dia protes sama saya. "kenapa sih harus matematika yang di UAN (Ujian Akhir Nasional) kan?!. "kok ga' pelajaran masak aja?!". tanyanya dengan nada kesal. dia memang paling suka masak. dan, jujur aja, masakannya memang enak, apalagi nasi gorengnya. mak nyoss...! saya bingung menjawab pertanyaan adek saya itu (mau bantu?!). biar dia terhibur saya jawab aja "tunggu aja abangmu ini jadi menteri, biar usulmu itu abang terapkan dan kalau perlu UAN yang ga' jelas manfaatnya itu akan abang hapuskan."
Padahal, mengutip kata2nya om Freire (Paulo Freire;red) pendidikan adalah untuk pembebasan. bukan untuk penindasan. untuk membentuk manusia yang manusiawi. gimana generasi kita mau manusiawi, lha wong sistem pendidikannya saja sudah tidak manusiawi. yang ada malah "robotawi". wajar aja kalau anak-anak di suruh sekolah jawabnya, capek deh..!!

Jumat, 23 Februari 2007

DPR oh DPR

akhir desember 2006 kemarin. saya dan beberapa org teman, melakukan aksi demonstrasi ke gedung DPRD kota Padang. terkait masalah pemberian uang komunikasi bagi seluruh anggota DPRD yg di atur dalam PP 37/2006. kami sepakat bahwa PP tersebut melanggar keadilan rakyat. dana yg digelontorkan cukup besar. malah sangat2 besar sekali bagi saya aktivis berkantong tipis ini. setelah berorasi panjang lebar di bawah guyuran hujan, kami pun diterima oleh wakil ketua DPRD. dalam diskusi tsb, kami meminta kepada seluruh anggota DPRD untuk menolak PP tsb. mereka berkilah, bahwa mereka tidak melanggar aturan. mereka hanya mengikuti apa yg diputuskan pemerintah pusat. dan kalau seandainya PP itu dicabutpun, mereka tidak akan protes. tapi sekarang, para anggota dewan itu, melalui asosiasi yg mereka bentuk untuk membela kepentingan mereka, dan ga' jelas dasar hukumnya itu, menolak diadakannya revisi atas PP 37/2006 tsb. mereka begitu 'ngotot' agar uang yg sudah mereka terima tidak dikembalikan lagi ke kas negara. yg jadi pertanyaan saya adalah, mereka mau ga' ya, melakukan pembelaan sedemikian rupa, seperti yg mereka lakukan sekarang, untuk kepentingan rakyat? saya yakin kita semua bersepakat untuk menggeleng.
begitulah, para wakil kita, para orang2 'pintar' itu, telah merubah suatu kesalahan menjadi sebuah kebenaran legal dengan menggunakan kepintaran dan kekuasaan yg mereka miliki.

cita-cita

kadang kalau lg melamun, saya pengen bgt seperti pak harto. cukup dengan ijazah SD bisa jadi presiden. memimpin rakyatnya yang berijazah lebih tinggi dan......menganggur. jd ga' perlu sekolah tinggi, ga' perlu kuliah dan ga' perlu menghadapi mata kuliah akuntansi yg tidak saya sukai itu. ngomong-ngomong soal cita2, saya teringat sebuah pepatah yg mengatakan; gantungkan cita-citamu setinggi langit. hati2 dengan kalimat ini. maksud saya, ukur dulu kemampuan kamu sebelum menentukan cita2. kalau IQ kamu sama jongkoknya dengan saya, bukannya mencapai langit malah yg ada kamu menjadi seperti pungguk merindukan langit.
kalo dah mengetahui kemampuan kamu sampai dimana, baru cari tau kamu bakatnya di bidang apa. kalo kamu tidak berbakat di bidang olahraga, dan bisanya cuma cuap2, jadilah tukang gosip atau manipulator. nah, setelah ketahuan bakat kamu di bidang apa, baru atur strategi untuk mencapai cita2 kamu tadi. kalo kamu bercita-cita pgn jadi musisi, bergaullah dengan pengamen. kalo kamu pengen jd artis sinetron, bergaullah dengan pengemis. tapi yang jelas tidak ada pekerjaan yg tidak pantas, yg penting kamu menjalaninya dengan penuh kebahagiaan!!

sama penting!!

tadi pagi salah seorang teman saya terlambat masuk kuliah Pengantar Akuntasi 2. pas mau duduk, dosennya manggil. trus nanya,
"kamu angkatan berapa?".
"2003 pak" jawab teman saya.
"berapa?!" tanya si dosen lg
"angkatan 2003, pak!" jawab teman saya dengan sedikit memberi penekanan pada kata 'pak'.
"angkatan 2003 baru ngambil pengantar akuntansi 2 sekarang?! kamu kemana aja, kamu niat kuliah apa nggak?!, dalam hidup kita harus punya cita2, punya target, jangan malas2an, bla..bla...bla..." sang dosen terus bicara. teman saya yg sudah mulai kesal, langsung duduk tanpa minta persetujuan si dosen. saya jadi berpikir, kenapa ya orang paling senang ngeliat orang lain terlihat bodoh di muka umum. apalagi kalo orang itu menunjukkan muka memelas. wah, kayak berasa menang dalam perang antar negara deh. padahal, bukankah akan lebih indah kalo sang dosen menyuruh teman saya yg terlambat menemuinya diruangan setelah perkuliahan selesai untuk menanyakan alasan keterlambatannya mengambil mata kuliah tersebut. empat mata. tidak di depan umum seperti tadi. tapi, memang kabanyakan dari kita, termasuk saya sendiri, sering merasa lebih hebat, lebih bermartabat, lebih berbudaya, lebih sukses, lebih berkuasa, dan lebih2 yg lainnya dari orang lain. padahal tanpa orang lain, kita ga' bisa apa. tanpa teman saya yg terlambat tadi, si dosen tentu ga' bisa menunjukkan rasa 'lebih'nya. coba deh bayangin (jgn kelamaan) kalo sang dosen, kamu atau saya tinggal sendiri disuatu tempat yg tak berpenghuni??? bingungkan, ga' bisa ngapa2in.
nah kalo gitu, mari kita masukkan kedalam pikiran, lalu turunkan ke hati kita bahwa setiap makhluk di dunia ini; dosen, mahasiswa, kamu, saya, kecoak, rumput hingga bakteri sekalipun mempunyai peran yang sama penting dalam kehidupan ini!!

Rabu, 21 Februari 2007

kata adalah senjata

beberapa minggu terakhir ini banyak "fitnah" yang menderaku. aku di tuduh menilep uang listrik kontrakan lah, di anggap orang berbahaya oleh pimpinan fakultas lah. belum lagi orang yang aku cintai menuduhku "mengobral cinta" sama perempuan lain. semua itu cukup membuat urat nadi kepalaku membesar. tapi, masalah ini juga membuat aku sadar, bahwa memberikan penilaian terhadap suatu masalah sebelum memahami dan menelaah dengan pikiran jernih, hanya akan menghasilkan masalah2 baru. akhirnya aku memutuskan untuk lebih banyak introspeksi diri, menjaga kata2. seperti pepatah; kata adalah senjata. ya, senjata bermata dua.
kadang kita sering bicara terus-menerus seperti seorang orator, dan itu sering membuat kita lupa untuk "meramu" kata-kata yg akan kita berikan pada orang lain dalam 'laboratorium' otak kita. sehingga kata2 itu menjadi 'ramuan' yang tidak pas takarannya. dan tak jarang ramuan itu berubah jadi racun. yg membunuh orang lain dan pada situasi tertentu, membunuh diri kita sendiri. maka, mari kita jaga, kita ramu kata-kata kita dengan sebaik mungkin agar tidak menjadi senjata dan racun yg berbahaya buat kita dan orang lain. tapi tidak berarti kita menjadi seorang yg pendiam. walau diam itu emas, tapi bicara yang bermanfaat tetap lebih baik daripada diam!!!